Kisah Inspiratif Dr. Suliskania: Dari Fast Track S3 di Jerman hingga Dosen Muda Berprestasi di ITB
Perjalanan Gemilang Suliskania: Menginspirasi Generasi Muda Ilmuwan Indonesia
Menjadi seorang peneliti dan pengajar di perguruan tinggi bukanlah tugas yang ringan. Seorang akademisi dituntut untuk terus mengembangkan ilmu pengetahuan melalui riset, mendidik mahasiswa, serta memberikan kontribusi nyata kepada masyarakat. Dr. Suliskania, seorang dosen muda berbakat dari Institut Teknologi Bandung (ITB), telah membuktikan bahwa dengan tekad yang kuat, semua tantangan dapat diatasi dan kesuksesan dapat diraih.
Perjalanan karier Suliskania sebagai seorang dosen muda tidaklah instan. Ia telah menapaki jalan panjang sejak masa kuliah Sarjana (S1), hingga akhirnya mendapatkan pendanaan riset dari Jepang untuk proyek penelitian ambisiusnya.
Akrab dengan Lingkungan ITB Sejak Dini
ITB bukanlah tempat yang asing bagi Suliskania. Sejak kecil, ia telah tumbuh dan berkembang di lingkungan kampus tersebut, karena ayahnya adalah seorang tenaga kependidikan di ITB. Ketika tiba saatnya untuk memilih perguruan tinggi, Suliskania tanpa ragu memilih ITB dan mengambil program studi Oseanografi. Ia juga mengambil program fast track S1-S2, yang memungkinkannya meraih dua gelar dalam waktu yang lebih singkat.
"Saya tertarik dengan fenomena alam yang dapat kita lihat secara langsung. Selama belajar di kelas, kita seringkali hanya disajikan dengan rumus-rumus. Namun, di Oseanografi, kita diajak ke lapangan dan ditunjukkan langsung fenomenanya. Misalnya, saat mempelajari persamaan arus, kita dapat melihatnya secara langsung di lautan," ungkapnya.
Meraih Gelar Doktor dengan Beasiswa DAAD di Jerman
Merasa bahwa pendidikan S1 dan S2 belum cukup, Suliskania mencoba peruntungannya untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri. Ia berhasil meraih beasiswa DAAD dan diterima di Universitas Hamburg, Jerman. Kuliah di Jerman memberikan banyak tantangan, mulai dari adaptasi dengan bahasa Jerman hingga menyesuaikan diri dengan sistem pendidikan yang berbeda.
Suliskania harus berjuang keras mengejar ketertinggalan bahasa Jerman selama empat bulan. Ia baru dapat memulai perkuliahan pada tahun 2017 dan berhasil lulus pada tahun 2021. "Pengalaman ini sangat berharga. Saya bertemu dengan kolega-kolega dari berbagai negara. Pengalaman ini tidak bisa saya dapatkan di Indonesia," kenangnya.
Kembali ke ITB sebagai Dosen Muda dan Peneliti
Setelah menghabiskan waktu sekitar empat tahun di Jerman, Suliskania kembali ke Indonesia dengan membawa amanah baru. Ia mulai mengajar di ITB sebagai dosen di jurusan Oseanografi. Awalnya, ia merasa canggung saat mengajar karena dilakukan secara daring. Namun, kini ia sangat mencintai dunia pendidikan.
"Jika saya harus memilih, saya paling menikmati mengajar," ujarnya. Kecintaannya pada dunia mengajar telah terlihat sejak ia masih menjadi mahasiswa. Saat itu, Suliskania menjadi asisten dosen, sehingga ia sudah belajar bagaimana mengajar dan berinteraksi dengan mahasiswa.
Sebagai seorang dosen, Suliskania berprinsip bahwa mahasiswa tidak harus dituntut untuk sempurna, terutama saat mengerjakan tugas akhir. Menurutnya, kesempurnaan dapat dicapai secara bertahap. "Tugas Akhir adalah latihan bagi mahasiswa untuk meneliti. Tidak harus wow banget, karena tidak ada penelitian yang sempurna. Riset itu selalu ada celahnya. Justru karena itulah riset selalu berulang, kita akan menyempurnakan lagi dan menyempurnakan lagi. Karena itu, little step sangat penting," katanya.
Meraih Pendanaan Riset dari Jepang
Konsistensi Suliskania dalam melakukan riset akhirnya membuahkan hasil. Tahun ini, sebuah lembaga foundation dari Jepang memberikan pendanaan riset kepadanya mengenai klorofil dan perubahan iklim. Ia mengerjakan proyek penelitian ini bersama dengan koleganya, Mubarok PhD. Dengan menggunakan data CMIP6-model iklim global, Suliskania membuat skema perubahan iklim hingga tahun 2100.
Fokus pengamatannya adalah analisis perubahan klorofil-a di laut selatan Jawa sebagai indikator produktivitas primer ekosistem laut. Wilayah tersebut sangat produktif karena sistem upwelling yang kuat.
Tidak hanya bekerja sama dengan sesama dosen, Suliskania juga menggandeng Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Menurutnya, prestasi ini tidak hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri, tetapi juga menjadi gerbang bagi Indonesia untuk lebih aktif berkolaborasi dalam riset global. "Target saya adalah mendapatkan riset yang lebih banyak lagi. Mudah-mudahan Asahi bisa menjadi gerbang pertama dan kesempatan yang bagus bagi saya untuk mengajukan pendanaan riset lainnya," harapnya.
Kepada para peneliti muda lainnya, Suliskania mengajak untuk tidak menyerah. Menurutnya, riset yang dilakukan tidak harus sempurna, karena ia yakin bahwa riset kecil pun dapat memberikan kontribusi bagi ilmu pengetahuan. "Jangan berkecil hati dengan topik yang sederhana, karena topik riset itu tidak pernah ada yang less significant, semuanya significant," tuturnya.