Pencegahan Pernikahan Dini di Lombok Tengah Gagal: Orang Tua Abaikan Imbauan Pemerintah Desa
Pernikahan Anak di Lombok Tengah: Upaya Pencegahan Terbentur Restu Orang Tua
Kasus pernikahan di bawah umur kembali mencuat di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, memicu keprihatinan akan perlindungan anak dan penegakan hukum. Pemerintah Desa Beraim, Kecamatan Praya Tengah, telah berupaya keras mencegah pernikahan dini yang melibatkan dua remaja, namun upaya tersebut menemui jalan buntu akibat keputusan orang tua yang bersikeras menikahkan anak mereka.
Lalu Januarsa Atmaja, Kepala Desa Beraim, mengungkapkan bahwa sebelum video pernikahan tersebut viral, kedua remaja tersebut sebenarnya telah menikah secara adat (merariq) sekitar tiga minggu sebelumnya. Menyadari usia kedua mempelai yang masih di bawah umur, kepala dusun setempat segera bertindak untuk memisahkan mereka. Langkah ini diambil sebagai upaya melindungi hak-hak anak dan mencegah dampak negatif pernikahan dini.
"Kepala dusun setempat telah berupaya melerai, karena mereka masih di bawah umur dan tidak diperbolehkan menikah. Akhirnya, anak-anak ini dipisahkan," jelas Lalu Januarsa. Namun, selang tiga minggu kemudian, kedua remaja tersebut kembali nekat menikah dengan cara memariq, sebuah tradisi kawin lari khas suku Sasak Lombok. Mereka melarikan diri ke Sumbawa selama dua hari sebelum akhirnya kembali ke Lombok.
Sekembalinya mereka, kepala dusun kembali menghubungi pihak keluarga perempuan, menginformasikan bahwa anak mereka telah kembali menikah dan akan dikembalikan kepada orang tua. Namun, di sinilah kendala utama muncul. Orang tua pihak perempuan menolak untuk menerima kembali anak mereka dan justru merestui pernikahan tersebut. Keputusan ini memaksa pihak keluarga laki-laki untuk menikahkan anak mereka, mengingat sang anak telah membawa gadis tersebut.
Saat ini, mempelai laki-laki berusia 17 tahun, sedangkan mempelai perempuan masih berusia 15 tahun dan duduk di bangku SMP.
Imbauan Pemerintah Desa Dimentahkan Orang Tua
Kepala Desa Beraim menegaskan bahwa pemerintah desa telah berupaya semaksimal mungkin untuk mencegah pernikahan ini. Namun, saran dan imbauan mereka diabaikan oleh orang tua kedua mempelai. "Segala upaya telah kami lakukan, baik dari pemerintah desa maupun kepala dusun. Namun, ketika upaya kami dimentahkan oleh para orang tua, kami pun tidak bisa berbuat banyak ketika orang tua mereka tetap ingin menikahkan anak-anaknya," ungkap Januarsa.
Pernikahan ini dilangsungkan di bawah tangan dan tidak tercatat di catatan sipil. Pemerintah desa juga telah memberikan peringatan kepada orang tua mempelai agar tidak mengadakan prosesi adat nyongkolan dengan iringan alat kesenian. Alasannya, kakak dari pengantin perempuan yang menikah sebelumnya melaksanakan prosesi adat nyongkolan dengan diiringi musik tradisional gendang beleq dan kecimol.
"Padahal sudah kita memberikan masukan kepada orang tua, baik yang di Beraim maupun Sukaraja, jangan ramai-ramai karena memang ini kan di bawah umur, tapi enggak didengar juga," kata Januarsa.
Kasus ini menjadi pengingat akan pentingnya edukasi dan kesadaran masyarakat mengenai dampak negatif pernikahan dini. Peran aktif orang tua dalam melindungi hak-hak anak sangatlah krusial. Selain itu, penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku pernikahan anak juga diperlukan untuk mencegah kasus serupa terulang kembali.