Pernikahan Dini Gegerkan Lombok Tengah: Orang Tua dan Penghulu Terancam Sanksi Hukum
Pernikahan Dini di Lombok Tengah Memicu Investigasi Polisi
Sebuah pernikahan yang melibatkan anak di bawah umur di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), telah memicu kehebohan dan berujung pada pelaporan polisi. Kasus ini menyoroti isu pernikahan dini yang masih menjadi tantangan serius di Indonesia, khususnya di wilayah dengan praktik adat yang kuat.
Kasus ini bermula dari viralnya video di media sosial yang menampilkan prosesi pernikahan adat Sasak, yang dikenal dengan istilah nyongkolan. Dalam video tersebut, terlihat seorang gadis SMP, diidentifikasi dengan inisial SMY (15) dari Desa Sukaraja, Kecamatan Praya Timur, tengah menjalani prosesi pernikahan dengan seorang pemuda SMK, SR (17) asal Desa Braim, Kecamatan Praya Tengah. Gelagat SMY dalam video tersebut memicu keprihatinan warganet, yang kemudian mendorong Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram untuk bertindak.
Ketua LPA Kota Mataram, Joko Jumadi, melaporkan kasus ini ke Polres Lombok Tengah. Laporan tersebut tidak hanya menyasar orang tua kedua mempelai, tetapi juga penghulu yang menikahkan mereka. Jumadi menjelaskan bahwa pelaporan ini bertujuan untuk memberikan efek jera dan mengedukasi masyarakat tentang larangan serta konsekuensi hukum dari pernikahan anak, yang diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Ia juga menyampaikan kekhawatiran bahwa praktik serupa dapat terjadi di daerah lain di NTB jika tidak ditangani dengan serius.
Upaya Pencegahan yang Gagal
Menurut informasi yang dihimpun, pernikahan ini sebenarnya telah dicegah oleh perangkat desa dari kedua belah pihak. Namun, upaya tersebut tidak berhasil karena keluarga tetap bersikeras untuk melanjutkan pernikahan. Bahkan, sebelum pernikahan dilangsungkan, kedua anak tersebut sempat berupaya kawin lari sejak April 2025, dan bahkan sempat dibawa ke Pulau Sumbawa selama dua hari. Situasi ini menunjukkan adanya tekanan dari keluarga dan lingkungan sekitar yang memaksa anak-anak tersebut untuk menikah di usia yang sangat muda.
Dampak Pernikahan Dini
Jumadi menekankan dampak negatif pernikahan anak, termasuk putus sekolah, kemiskinan, stunting, kematian ibu dan bayi, serta potensi kekerasan dalam rumah tangga dan prostitusi. Ia meminta pihak kepolisian untuk bekerja sama dengan lembaga perlindungan anak lainnya untuk memberikan pembinaan dan rehabilitasi terhadap anak-anak yang terlibat.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa pernikahan anak bukan hanya masalah individu, tetapi juga masalah sosial yang kompleks. Perlu adanya upaya bersama dari pemerintah, lembaga perlindungan anak, tokoh masyarakat, dan keluarga untuk mencegah praktik ini dan memastikan hak-hak anak terpenuhi.